TELISIK SEJARAH KEBENCANAAN GEOLOGI DI KEBUMEN

Kebumen, Humas BRIN. Hampir setiap tahun Kabupaten Kebumen menghadapi bencana alam. Beberapa diantaranya adalah gerakan tanah yang pernah terjadi Tinatah, gerakan tanah di Kalijering, Padurekso; hingga longsor di tebing Sungai Luk Ulo. Mengapa hal ini bisa terjadi? “Dilihat dari fisiografi Pulau Jawa, Kabupaten Kebumen merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu Selatan. Proses pembentukannya berkaitan dengan zona tektonik subduksi purba, yaitu pertemuan tumbukan Lempeng Samudera Hindia Australia dengan Lempeng Benua Eurasia, sehingga memungkinkan banyak ditemukan struktur patahan dan lipatan pada batuannya” terang Eko Puswanto, Peneliti Geologi OR Ilmu Pengetahuan Kebumian BRIN dalam webinar Mengenal Sejarah Geologi Kebumen dan Kebencanaan di masa lampau pada Minggu (3/10).

Ia memantik pertanyaan kepada peserta webinar, apakah Pulau Jawa akan terbelah? Peserta diajak menganalisis kompleksitas patahan-patahan Jawa, serta indikasi keberadaan patahan Kebumen-Muria dan patahan Pemanukan-Cilacap dari data-data sekunder. Selain berhubungan dengan kompleksitas rangkaian pegunungan Serayu Selatan, Kebumen juga dikelilingi oleh rangkaian pengunungan Serayu Utara yang berkaitan dengan keberadaan gunung api aktif, misalnya Gunung Slamet di Purwokerto dan kompleks vulkanik Dieng, Wonosobo. “Sebagai zona subduksi purba, Kebumen memiliki formasi batuan tua Kompleks Melange Luk Ulo di bagian utara serta Formasi Halang di bagian selatan sebagai hasil reaktivasi vulkanik Serayu Selatan yang terjadi bersamaan dengan aktivitas vulkanik Serayu Utara pada Miosen Tengah,” tambahnya.

Lantas adakah potensi bencana vulkanisme Kuarter di Kebumen? Menurut Eko, aktivitas Gunung Slamet tercatat pernah terjadi pada abad ke-19, tahun 1988, 2009, 2014 dan 2019. Namun hal tersebut tidak berdampak signifikan terhadap kerusakan yang terjadi di Kebumen. Ini berbeda dengan bencana vulkanisme dan geomorfologis yang pernah terjadi di wilayah Majapahit. “Karena Majapahit berada di Delta Brantas yang tidak stabil dengan struktur intensif, maka diperkirakan pembentukan Gunung Anyar yang pernah terjadi pada abad ke-13 dan 14 identik dengan bencana lumpur Sidoarjo saat ini, peristiwa erupsi gunung api juga tercatat dalam Serat Pararaton pernah terjadi beberapa kali pada abad 13 dan 14,” ungkap penulis buku cerita anak Bawor dan Si Ontel Petualangan Menjelajah Lorong Purba tersebut.

Menurutnya, Kebumen memiliki karakteristik bencana geologi yang berbeda-beda. Bencana gerakan tanah di daerah Tinatah disebabkan oleh adanya deformasi tektonik yang berhubungan dengan struktur lipatan Eragumiwang dan sesar-sesar geser. Aktivitas deformasi ini menyebabkan lapisan-lapisan batupasir-batulempung Formasi Halang terlipat dan beberapa bagian berkembang menjadi lipatan tegak. Keberadaan sisipan-sisipan batulempung, sangat berpotensi menjadi bidang gelincir pemicu terjadinya gerakan tanah terutama pada saat hujan.

Bencana gerakan tanah di Kalijering Padurekso diperkirakan berhubungan dengan adanya proses interlocking spur atau taji tumpang-tindih. Kejadian lainnya yang tidak kalah penting adalah bencana hidrometerologis di Kebumen yang mengakibatkan longsor di tebing sungai.

Menindaklanjuti hal itu, Peneliti Geologi OR Ilmu Pengetahuan Kebumian BRIN telah berupaya melakukan penelitian untuk mengkaji Pembobotan Masa Batuan di Tinatah dan daerah rawan longsor lainnya di Kebumen. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar bagi BPBD dan Pemda Kebumen untuk merumuskan kebijakan mitigasi bencana di daerah tersebut.

Eko menambahkan, meskipun di Kebumen sering terjadi bencana geologis, namun Kebumen cenderung lebih aman dari bahaya gempa dan tsunami. “Di Kebumen tidak ada patahan aktif dan terindikasi berada pada zona seismic gap, sehingga memiliki tingkat seismisitas rendah, adanya seamount atau gunung api bawah laut di selatan Jawa membantu meredam kegempaan,” tuturnya. (Mn)

Comments are closed.
× Apa yang bisa kami bantu ?